Pengetahuan Dasar Karate di Dojo
Pemahaman dan Pengetahuan Dasar Karate di Dojo, Hal-hal penting yang harus diketahui Karateka selama di Dojo.
Pengelompokan
Karateka dalam berbagai level ditujukan agar dapat mendorong para
murid untuk berlatih dan menghindari kejenuhan dalam latihan.
Pengelompokan tingkat Karateka tersebut umumnya dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Tingkat Kyu atau pemula ,mereka
disebut Mudansha dan umumnya level ini dimulai dari
bilangan besar (10 / 9) ke kecil (1/ 1) sebagai pembeda yang mengacu pada
tingkat penguasaan akan substansi teknik dasar
perguruannya. Penggunaan ikat pinggang dengan berbagai warna yang
diadopsi oleh Gichin Funakoshi dari sistem Judō oleh Jigoro
Kano lazim digunakan sampai saat ini sebagai pembeda
tingkat, dan biasanya umumdimulai dengan warna putih bagi Kohai
yang baru memulai latihan.
b. Tingkat Dan atau lanjutan / mahir ,
mereka disebut Yudansha dan umumnya level ini di Shotokan
dimulai dari bilangan kecil ( 1 ) ke besar ( 9 / 10 ) sebagai
pembeda yang lebih mengacu pada tingkat penguasaan jiwa lewat
pemahaman teknik berdasarkan substansi filosofi
perguruannya.Warna ikat pinggang yang paling umum dipakai
adalah hitam (meskipun
pada beberapa ryu / aliran ada
beberapa variasi warna yang dilakukan).Khusus Yudansha ada banyak istilah yang lebih
spesifik dalam hal penyebutan nama, yaitu :
i. Sempai , berarti senior
dalam bahasa Jepang.Umumnya di Shotokan
digunakan para Kohai untuk memanggil mereka yang memiliki jabatan
sebagai asisten pelatih/pelatih biasa dengan kualifikasi Kyu 3 ~ Dan 3.
digunakan para Kohai untuk memanggil mereka yang memiliki jabatan
sebagai asisten pelatih/pelatih biasa dengan kualifikasi Kyu 3 ~ Dan 3.
ii. Sensei , berarti guru dalam
bahasa Jepang.Umumnya di Shotokan
digunakan untuk penyebutan Yudansha dengan kualifikasi Dan IV
digunakan untuk penyebutan Yudansha dengan kualifikasi Dan IV
~ V atau pelatih kepala.
iii. Renshi , berarti guru ahli
/ utama dalam bahasa Jepang.Umumnya di
Shotokan digunakan untuk penyebutan Yudansha dengan kualifikasi
Dan VI ~ VIII.Istilah lain adalah Dai Sensei atau Kyoshi.
Shotokan digunakan untuk penyebutan Yudansha dengan kualifikasi
Dan VI ~ VIII.Istilah lain adalah Dai Sensei atau Kyoshi.
iv. Shihan , berarti guru besar
/ mahaguru dalam bahasa
Jepang.Umumnya di Shotokan digunakan untuk penyebutan Yudansha
dengan kualifikasi Dan IX ~ X . Istilah lain adalah Hanshi.
Jepang.Umumnya di Shotokan digunakan untuk penyebutan Yudansha
dengan kualifikasi Dan IX ~ X . Istilah lain adalah Hanshi.
v. Beberapa varian lain untuk pemimpin
tertinggi perguruan dalam seni
beladiri Jepang adalah : Menkyo, Kaiden, Osho, Soke, Doshu, Taisho,
beladiri Jepang adalah : Menkyo, Kaiden, Osho, Soke, Doshu, Taisho,
Sosho, O Sensei, Kaiso, Shodai,
Kaicho, Kancho, Meijin (lihat majalah
Jurus no. : 07 tahun 1999, halaman 20-21)
Jurus no. : 07 tahun 1999, halaman 20-21)
2. Sarana penunjang latihan ; yang dimaksud
disini yaitu :
a. Pakaian : pada awalnya di Okinawa
tidak ada pakaian khusus untuk berlatih ilmu beladiri apapun ,
bahkan dalam beberapa foto dokumentasi dari abad 19 terlihat
para praktisi ilmu beladiri hanya mengenakan celana saja
tanpa baju. Baru setelah mereka berinteraksi
dengan disiplin ilmu beladiri Jepang lainnya diawal abad 20 (dipelopori Gichin
Funakoshi yang mengunjungi Dōjo Kodokan milik Jigoro
Kano)
hal tersebut dapat diseragamkan hingga kini dengan
memodifikasi seragam Judō yang telah ada. Pakaian untuk berlatih ini disebut
sebagai Karate-gi atau Dō-gi atau Keiko-gi, terdiri atas semacam
jaket berlapis dua(Uwagi ) dan celana panjang longgar (Zubon)
yang berwarna putih ; serta sebuah ikat pinggang tebal dari
kain yang dijahit rangkap ( Obi ) yang dililitkan dua
kali dan berwarna sesuai tingkatan yang dicapai penyandangnya ( lihat pembahasan
SubBab diatas ! ).Bahan yang paling
baik untuk digunakan adalah jenis kain kanvas yang tidak terlalu tebal
seperti halnya bahan kanvas pada seragam Judō , namun
memiliki daya tahan yang sama.Agaknya pakaian ini memang sangat
berperan besar dalam perkembangan Karate keseluruh
penjuru dunia, karena ia memiliki semacam keluwesan
tersendiri sehingga terbukti bisa dengan mudah beradaptasi secara
universal bagi para praktisi yang berasal dari belahan
dunia manapun atau unsur etnis maupun religius apapun
juga. Dewasa ini sesuai perkembangan mode dan teknologi
pertekstilan telah banyak diciptakan karate-gi dengan model,
bahan dan bahkan warna yang berbeda dengan model asli
tradisional Jepang (terutama sekali terjadi pada
Karate di Amerika & Eropa ). Namun bahan yang terbukti paling baik adalah yang
berbahan dasar katun yang telah teruji dalam penyerapan keringat
selama berlatih.Tercatat nama Tokaido sebagai
salah satu perintis awal dan produsen karate-gi bermutu
yang paling dikenal luas di dunia.
b. Tempat : disebut Dōjo yang berarti “tempat
untuk mempelajari” dalam bahasa Jepang, dan pada jaman
lampau lebih mengacu pada arti “aula untuk bermeditasi
dalam kuil”.Dalam sebuah Dōjo tradisonal di Jepang ada banyak
aturan yang sangat mengikat dan penuh tatakrama lama,
seperti penempatan altar dan Kamiza(tempat duduk khusus
untuk guru)
serta penggunaan Tatami (matras) dan Zori (sandal khusus dari
kayu & jerami). Inilah agaknya hal yang mendasari
kesakralan eksistensi sebuah Dōjo secara mistis religius
bagi para penganut paham Karate Tradisional yang konservatif
pada akar budaya Sino- Jepang ; suatu persepsi yang mendapat
penentangan keras dari praktisi Karate-dō di dunia Barat
yang sangat anti pada sesuatu yang bersifat irasional &
non-logika.Bahkan saat ini banyak para guru besar berpengaruh
asal Jepang sendiri seperti Hirokazu Kanazawa dan Hitoshi
Katsuya yang secara tegas berani menolak penerapan sistem
Dōjo lama (Shiai-jo) tersebut.Bagaimanapun juga secara umum
dewasa ini sebuah Dōjo sudah dapat dikatakan memenuhi
syarat standar apabila memiliki luas yang cukup, berlantai
datar, berdinding dengan ventilasi yang cukup dan memiliki atap
yang agak tinggi.Tentunya hal diatas harus
dibarengi dengan kebersihan dan kenyamanan serta beberapa sarana
lain yang bersifat tambahan sesuai kebutuhan.
c. Alat : tidak ada suatu jenis alat
khusus apapun yang harus dipakai dalam sebuah latihan Karate .
Penggunaan alat tradisional Jepang seperti Makiwara (semacam samsak) lebih dikarenakan faktor kebiasaan setempat
. Terbukti kini sangat banyak model alat yang sangat sukses
dipakai sebagai penunjang program latihan yang
menekankan pada penerapan fungsi ilmu faal dan anatomi tubuh
secara tepat dengan inovasi yang berteknologi modern yang
telah teruji.
3. Program – program permanen ; yang
dimaksudkan disini adalah rangkaian / proses kegiatan yang harus
ada dan berlangsung secara berurutan dalam sebuah latihan
Karate-do dalam Dōjo .Sesuai aslinya yang berdasarkan prinsip standar
ajaran Budō (seni beladiri Jepang) maka minimal ada delapan buah proses
wajib dalam sebuah latihan formal seni beladiri Karate-dō yang
mana pemaparan proses – proses tersebut dijelaskan dengan urutan sebagai
berikut di bawah ini :
a. Rei-Shiki /Upacara /Tradisi
penghormatan pembuka
b. Taisō / Senam / Stretching pembuka
c. Kihon
d. Kata
e. Kumite
f. Mondo / Diskusi tentang materi
latihan
g. Taisō penutup
h. Rei-Shiki penutup
a. Rei-Shiki pembuka dan penutup sama
bentuknya, biasanya peserta duduk dengan posisi Sei-za /
Za-zen(di
Jepang orang lebih mengutamakan
posisi duduk “ala tukang jahit “ karena dianggap lebih sopan
dibandingkan posisi duduk “ala bunga teratai”) dalam beberapa lajur
sesuai tingkatan. Lalu diawali dengan pembacaan Dōjo-Kun
& Niju-Kun (diIndonesia diganti
dengan Sumpah Karate),
melaksanakan Mokuto (mengheningkan /
mengonsentrasikan / merelaksasikan pikiran, bukan
makuso / mokuso untuk pengucapannya ! )danterakhir melakukan Shomen-Ni-Rei (penghormatan terhadap yang ada di depan
peserta Rei-Shiki, di Jepang hal ini mengacu pada Mufudakake /
papan kayu kecil di dinding utama sebuah Dōjo yang berisikan
nama – nama para pendiri / guru dari ryu tersebut. Di Indonesia
hal ini diganti dengan bendera negara dan lambang perguruan).Semua proses itu dilakukan secara
bersama – sama. Selanjutnya barulah dilakukan Sensei-Ni-Rei(penghormatankepada guru) , lalu Otagai-Ni-Rei
(penghormatan
terhadap sesama peserta
Rei-Shiki)
dan terakhir Dōjo-Ni-Rei (penghormatan kepada Dojo).Semua bagian
Rei-Shiki ini dilakukan dengan posisi Za-Rei (penghormatan sambil
duduk), diiringi pengucapan kata OSH yang
merupakan salam resmi hampir semua perguruan Budō di Jepang.
B. Mondo
; arti sebenarnya adalah pertemuan resmi antara guru dengan para
siswanya dalam sebuah Dōjo yang berasal dari tradisi kuno Zen (sekte
utama agama Budha di Jepang).Disini dibahas lewat dialog maupun diskusi
tentang pokok bahasan latihan yang telah diberikan. Pada tradisi aslinya
para guru akan mengakhiri dengan sebuah Koan / frasa singkat yang tak
memiliki arti logis namun lebih pada nilai filosofis.
0 comments:
Post a Comment